Selamat Datang di My Blog's

Minggu, 23 Oktober 2011

Perdebatan Cicak Vs Buaya

Kisah perseteruan “cicak” versus “buaya” bergulir bagaikan bola liar di ranah Internet. Guliran kasus makin seru setelah dua petinggi nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, ditangkap pada Kamis pekan lalu. Hari itu juga, dosen Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Usman Yasin, membuat “Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto”. Dalam waktu sepekan, persisnya hari ini, aksi tersebut telah meraih lebih dari sejuta pendukung.

“Bagaimana aksi itu bisa mendapat dukungan secara cepat dan meluas, ya, Mas?” tanya Mat Bloger, kawan saya, yang sekarang gemar beraktivitas di media sosial, seperti Facebook dan Twitter.
“Pertama-tama tentu saja karena Facebook dan Twitter sedang menggila di Indonesia. Pengguna Facebook, misalnya, sekitar 11,8 juta. Pemakai Twitter 1,8 juta. Dua media sosial ini memiliki efek viral. Sebuah pesan dapat tersebar ke mana-mana dalam tempo relatif singkat lewat jejaring sosial itu. Apalagi isu yang diusung memang sedang menjadi perhatian masyarakat dan khalayak di Internet.
Gerakan sosial (online activism) seperti jamur yang tumbuh subur di lahan yang tepat dan pada waktu yang pas. Dipicu oleh sukses Barack Obama, yang memboyong isu perubahan di masa pemilihan Presiden Amerika Serikat, gerakan sosial lewat jejaring sosial, seperti Facebook, pun menggejala di mana-mana, termasuk Indonesia.
Sampean tentu masih ingat fenomena yang sama di masa pemilihan legislatif dan presiden beberapa bulan lalu. Di Facebook juga marak aksi dukung-mendukung atau tolak para calon legislator dan presiden. Lalu ada aksi “Dukung Pembebasan Prita Mulyasari”, ibu rumah tangga yang terkena kasus pencemaran nama baik itu. Jangan lupa pula pada gerakan moral IndonesiaUnite, yang muncul pascapengeboman Hotel Marriott dan Ritz-Carlton di Mega Kuningan, Jakarta, pada Juli lalu. Gerakan-gerakan sosial semacam itu kian meluas berkat dukungan Twitter.
Dari fenomena online activism itulah kemudian muncul istilah aktivis daring (online activist) atawa orang-orang yang aktif melakukan kampanye sosial. Aktivis daring mempunyai ciri-ciri, antara lain, terdidik, berstatus sosial-ekonomi menengah ke atas, dan akrab dengan Internet. Sebagian besar di antara mereka masih berusia produktif, 18-35 tahun. Kita bisa melihat mereka berseliweran di kantor-kantor mentereng, nongkrong sambil minum kopi kafe, atau di kampus-kampus dengan laptop ataupun telepon pintar di tangan.
Aksi para aktivis itu tak bisa dianggap remeh. Pekan lalu kita melihat pameran efektivitas mereka sebagai salah satu kelompok penekan yang menolak penahanan Chandra-Bibit. Tekanan mereka begitu besar sehingga akhirnya kedua tersangka itu ditangguhkan penahanannya.”
“Apakah, sebagai narablog, saya juga bisa menggalang gerakan sosial seperti itu, Mas? Apa kunci keberhasilannya?”
“Tentu saja bisa, Mat. Kuncinya, sampean harus pandai-pandai memilih isu yang seksi. Maksud saya, sesuatu yang menjadi perhatian dan menyangkut kepentingan publik, misalnya korupsi, perubahan iklim, dan pendidikan untuk orang miskin.
Kedua, kenalilah lingkungan yang hendak dibidik. Amati komunikasi yang biasa berlangsung di lingkungan tersebut sebelum sampean ikut terjun dan memperkenalkan sebuah gagasan. Ada baiknya bila sampean mengajak tokoh di lingkungan tersebut untuk berkolaborasi mendukung gerakan. Keikutsertaan sang tokoh akan memberi semacam legitimasi dan memperkuat efek viral. Selanjutnya, serahkan sisanya kepada khalayak. Kalau gagasan sampean memang dianggap penting dan bermanfaat, mereka pasti akan dengan sukarela mendukung.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar